DAERAHHEADLINE NEWS

Realisasi APBD Kaltim 2025 Baru 57 Persen, Pengamat Sebut Manajemen dan Pengawasan Lemah

×

Realisasi APBD Kaltim 2025 Baru 57 Persen, Pengamat Sebut Manajemen dan Pengawasan Lemah

Sebarkan artikel ini
Pengamat kebijakan publik, Saiful Bachtiar

KALTIM — Laporan terkini dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan per 1 November 2025 menunjukkan realisasi anggaran Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) masih rendah.

Dari total APBD 2025 senilai Rp20,9 triliun, baru sekitar Rp11,9 triliun yang terserap, sehingga masih ada sekitar Rp9 triliun atau 43 persen anggaran yang belum digunakan. Dengan waktu kurang dari dua bulan menuju penutupan tahun anggaran pada 25 Desember, tingkat serapan baru mencapai 56,94 persen.

Rinciannya, belanja pegawai baru terserap Rp2,4 triliun dari pagu Rp3,7 triliun (66,36 persen), belanja barang dan jasa Rp2,68 triliun dari Rp4,91 triliun (54,54 persen), dan belanja modal sebagai indikator pembangunan fisik baru menyerap Rp1,68 triliun dari Rp4,6 triliun (36,19 persen). Sementara itu, belanja lain-lain mencapai Rp5,1 triliun dari Rp7,61 triliun (67,17 persen), belanja bagi hasil Rp2,9 triliun dari Rp4,6 triliun (63,75 persen), dan bantuan keuangan Rp1,6 triliun dari Rp2 triliun (78,61 persen). Belanja subsidi dan belanja tidak terduga belum direalisasikan sama sekali, sedangkan belanja hibah dan bantuan sosial masing-masing mencapai Rp506 miliar dari Rp695 miliar (72,75 persen) dan Rp22 miliar dari Rp27 miliar (81,74 persen).

Pengamat kebijakan publik, Saiful Bachtiar, menilai rendahnya serapan anggaran mencerminkan lemahnya manajemen dan koordinasi di jajaran pemerintahan daerah. Menurutnya, pihak eksekutif, terutama Gubernur, Wakil Gubernur, dan Sekda, bertanggung jawab penuh atas kinerja ini, namun DPRD juga dinilai kurang menjalankan fungsi pengawasannya.

“Kalau serapan di bawah 60 persen, Gubernur dan Wakil Gubernur wajib menjelaskan secara transparan. DPRD juga tidak bisa lepas tangan,” kata Saiful.

Ia menambahkan, keterlambatan penyerapan berdampak langsung pada masyarakat, karena dana yang seharusnya digunakan untuk layanan publik belum bergerak. Kondisi ini juga bisa memengaruhi kredibilitas Kaltim di mata pemerintah pusat, termasuk potensi pengurangan alokasi anggaran di tahun berikutnya.

Saiful menekankan pentingnya profesionalisme birokrasi. Sekda dan kepala OPD harus memastikan pelaksanaan program berjalan lancar tanpa terganggu dinamika politik. Bila ada tekanan politik untuk menunda kegiatan, pejabat teknis harus berani menyuarakan, agar kendali anggaran tetap dijalankan secara profesional.

“Jika tidak ada intervensi politik, maka masalah ini murni akibat manajemen dan ketidakprofesionalan internal,” tegas mantan Ketua Bawaslu Kaltim itu. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *