SAMARINDA – Transformasi digital di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dituding hanya menjadi “kosmetik” birokrasi. Alih-alih memangkas prosedur, sistem yang setengah hati ini justru dinilai sengaja memelihara celah bagi praktik pungutan liar (pungli) dan suburnya jasa makelar.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Sigit Wibowo, membongkar paradoks yang terjadi di lapangan. Meski banyak layanan telah berlabel “online”, warga tetap saja diminta melampirkan dokumen fisik dan fotokopi. Kondisi inilah yang menurutnya menjadi akar masalah ketidakpastian layanan.
“Ketidakpastian prosedur itu adalah bahan bakar bagi pungli. Ketika layanan dibuat lambat dan syarat manual tetap menumpuk, masyarakat dipaksa memilih jalur pintas melalui oknum atau biro jasa,” tegas Sigit kepada media, Selasa (16/12/2025).
Sigit menekankan bahwa esensi digitalisasi adalah pemangkasan rantai birokrasi (reengineering), bukan sekadar memindahkan formulir kertas ke layar komputer. Ia melihat ada kegagalan fatal dalam pemanfaatan data terintegrasi antar-instansi.

















