Sejumlah data menunjukkan urgensi persoalan ini. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan sepanjang 2024, dengan 114 di antaranya terjadi di pesantren. Sementara di Kaltim, DKP3A mencatat 662 kasus kekerasan hingga pertengahan 2025, dan 63 persen korbannya adalah anak-anak.
Melihat situasi tersebut, Agusrinsyah menilai DPRD dan pemerintah daerah harus hadir lebih kuat melalui regulasi, pengawasan, dan pendampingan psikososial yang berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa keamanan anak bukan isu sektoral, tetapi tanggung jawab kolektif yang membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya reaksi setelah kejadian.
“Ini persoalan masa depan. Kita harus memastikan pesantren tetap menjadi ruang aman untuk belajar dan tumbuh, bukan tempat yang menyisakan trauma,” pungkasnya.

















