Menurutnya, keterbatasan jumlah pengawas turut diperparah oleh persoalan kesejahteraan dan sarana kerja. Banyak pengawas bekerja dengan mobilitas tinggi untuk menjangkau sekolah-sekolah yang tersebar, sementara kendaraan dinas maupun alat kerja belum memadai. Akibatnya, proses supervisi, penilaian guru, hingga pemantauan standar pembelajaran sering tertunda.
“Beban mereka berat. Satu pengawas bisa memegang sampai 20 madrasah. Ini tidak manusiawi,” kata Agusriansyah.
DPRD juga menyoroti moratorium rekrutmen pengawas yang membuat jumlah petugas terus menurun dari tahun ke tahun. Banyak pengawas yang akhirnya tidak lagi aktif karena ketiadaan insentif maupun dukungan operasional. Kondisi ini, menurut DPRD, telah menciptakan “zona kosong pengawasan” pada sebagian madrasah.
“Kami mendorong agar pemerintah daerah ikut membantu, terutama dalam penyediaan fasilitas transportasi dan pendukung kerja lainnya. Pengawas harus bisa turun ke lapangan, bukan hanya menerima laporan atas kertas,” ujarnya.

















