Kondisi ini, menurutnya, mengancam kapasitas daya tampung TPA yang bisa penuh dalam waktu kurang dari dua tahun jika tidak ada intervensi pengelolaan dari hulu.
“Kalau semua sampah ini menuju ke TPA, tidak lebih dari dua tahun TPA kita tidak bisa lagi dipakai. Karena itu, kami ingin memastikan hanya residu dari hasil pengelolaan yang akan sampai di TPA,” jelasnya.
“Sampah-sampah organik dan non-organik harus diolah terlebih dahulu di tingkat rumah tangga dan lingkungan,” lanjut politisi Golkar itu.
Wali Kota juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota Makassar tengah mendorong penerapan sistem pengelolaan sampah terintegrasi hingga ke tingkat RT/RW.
Dimana setiap wilayah diwajibkan memiliki fasilitas komposter, ekoenzim, dan maggot untuk mengolah sampah organik.
Dia menegaskan, kewajibkan setiap RT/RW memiliki komposter, ekoenzim, dan maggot berfungsi mengolah sampah organik menjadi pupuk alami, ekoenzim membantu mengurai limbah.
“Dengan pola ini, rumah tangga bisa mengurangi timbunan sampah secara signifikan,” tuturnya.
“Maggot ini sangat rakus memakan sampah, dan setelah besar bisa dijadikan pakan ikan, ayam, bahkan diolah menjadi pupuk cair yang bernilai ekonomi tinggi,” tambah Munafri.
Selain pengelolaan organik, Pemkot Makassar juga terus mendorong optimalisasi bank sampah dan sistem pemilahan dua ember, satu untuk sampah organik dan satu untuk non-organik, di setiap rumah tangga.
Sampah non-organik seperti plastik kini juga bernilai ekonomi, karena sudah ada beberapa perusahaan di Makassar yang rutin membeli plastik daur ulang dari masyarakat.